8 September 2012
Asarpin
Esais
Mamak
Kenut, sebuah nama dalam khazanah budaya atau tradisi lisan Lampung,
yang kembali dipopulerkan Udo Z. Karzi lewat serangkaian kolomnya di
rubrik Nuansa Lampung Post, kini telah dibukukan dengan judul Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh (Indepth Publishing, Bandar Lampung, Juni 2012).
Apa
boleh buat, Mamak Kenut pun menjelma seorang tokoh yang begitu melekat
dengan si penulisnya. Sampai-sampai beberapa teman pembaca
mengindentikkan Mamak Kenut dengan sosok Udo Karzi sendiri.
Mamak
Kenut adalah tokoh yang usil, cerewet, dan nakal. Sentilan-sentilan,
olok-oloknya, dan celotehnya yang sarkas terasa menyegarkan untuk sebuah
kolom pendek dengan ruang yang amat terbatas. Antara nama yang
kampungan dengan cita-rasa yang sekolahan dalam diri Mamak Kenut
tampaknya berbaur.
Sosok
Mamak Kenut tak mudah ditafsirkan karena posisi dan wataknya seringkali
sulit ditangkap, walaupun kelampungan dan kekampungan dari nama itu amat
kentara. Mamak Kenut memang bukan tokoh tunggal dalam kolom-kolom Udo,
tetapi posisinya yang sentral tak bisa dimungkiri.
Posisi ini serupa tapi tak sama dengan Mister Rigen dalam kolom-kolom Umar Kayam di Kedaulatan Rakyat
tahun 1980-an atau Markisot dalam kolom-kolom Emha Ainun Nadjib.
Walaupun Udo mencoba menghadirkan tokoh-tokohnya dengan posisi yang
nyaris tetap dan selalu memiliki pasangan perwatakan, hemat saya Mamak
Kenut adalah sebuah pokok dan tokoh sekaligus.
***
Mamak
Kenut bisa jadi agak membosankan jika didekati secara tematik. Sebab,
apa yang dihadirkan Udo di situ sudah pula dimamah-biak oleh media
massa. Namun, yang menarik—dan menjadi daya tarik Mamak Kenut—adalah
bagaimana persoalan-persoalan politik itu tecermin lewat penggunaan
bahasa Udo yang khas.
Harus
diakui, sebagian besar kolom dalam Mamak Kenut menggunakan bahasa
campuran Lampung dan Indonesia. Bahkan, di sana-sini muncul pula bahasa
Inggris. Pencampuran atau pembauran bahasa dalam Mamak Kenut bukan
sekadar strategi kosong, memang barangkali diniatkan dengan sengaja agar
tulisan terasa komunikatif dan lucu. Lewat bahasa Lampung Udo tampaknya
sengaja mengomentari dunia Indonesia, dan lewat bahasa Indonesia ia
tampak menemukan kerinduan akan bahasa kedua orang tuanya.
Apakah
ini dapat disebut sebagai strategi melokalisasi bahasa Indonesia? Dengan
kata lain, sebuah cara yang sengaja untuk me-Lampung-kan bahasa
Indonesia sebagaimana banyak kolumnis-kolumnis Jawa yang sengaja
tampaknya ingin men-Jawa-kan bahasa Indonesia? Bisa jadi karena ini
kolom-kolom yang dihadirkan dengan bahasa orang kebanyakan dengan maksud
menghibur.
Kalaulah Udo lebih total bereksprerimen dengan nakal, kolom-kolomnya lebih berpeluang untuk menampilkan hakikat dari falsafah wat-wat gawoh yang dipopulerkan Lampung Post. Kolom-kolom Udo hemat saya adalah jelmaan dari wat-wat gawoh yang berhasil dan mendalam.
Udo diam-diam memiliki ketangkasan berbahasa khas orang Lampung yang pandai nurik, pacak menghadirkan pubalahan. Udo kaya dengan pubalahan yang khas dan menukik, yang mengingatkan saya kepada beberapa kolom mendiang Mahbub Djunaidi, terutama dalam buku Kolom Demi Kolom.
Judul-judul seperti Politisi Olahraga, Biasa Saja, Bablas, Musyawarah-Mufakat, Orang Bersih, Kapasitas, Iqra, Sementara Itu, Satu Miliar
adalah kolom-kolom tangguh yang berkelas. Bahasanya kadang langsung
menukik. Kolom-kolom Udo terasa lebih kuat justru ketika ia bicara
hal-hal yang tidak terkait langsung dengan isu aktual. Campuran bahasa
Lampung dan bahasa Indonesia sengaja dipakai dengan maksud untuk
mempertegas identitas atau mungkin menunjukkan sebuah peralihan budaya.
Udo
berusaha menghadirkan kembali bahasa percakapan sehari-hari yang tidak
birokratis. Udo bolak-balik menggunakan bahasa Indonesia bergaya Lampung
dengan bahasa Lampung bergaya Indonesia. Dalam campuran linguistik ini,
lalu lintas bahasa tampaknya berjalan sangat komunikatif. Inilah bahasa
keakraban, bahasa kehidupan sehari-hari orang Lampung kini, baik yang
tinggal di kota maupun di desa. Melalui bahasa campuran, pembaca merasa
lebih akrab dan tersentuh.
Dari
segi linguistik, Udo saya kira telah memiliki bahasa pengucapan khas,
yang bukan sekadar pengagum para pendahulunya, yang memiliki keberanian
berucap yang konyol tapi penuh kejujuran sekaligus bijak. Orang yang
telah memiliki bahasa dengan gayanya sendiri adalah orang yang tak mudah
tergoda oleh rayuan tulisan orang lain yang bagus. Kalaupun sesekali ia
menelikung, ciri khas dan karakternya akan dengan mudah dikenali oleh
pembaca setianya.
Saya
cemburu dengan orang yang telah memiliki bahasa pengucapan khusus, dalam
arti telah memiliki gaya dan ciri khasnya sendiri. Soal model dan genre
yang dipakai, itu urusan nomor sekian. Yang terpenting saya telah
menemukan sesuatu yang menyegarkan tatkala membacanya.
Tak
banyak orang yang menyukai "kolom-kolom yang tidak serius" tapi
menghadirkan urusan yang begitu serius. Ketika masih mahasiswa, saya
sama sekali tak menyukai kolom-kolom Mahbub Djunaidi, Emha Ainun Nadjib,
Abdurrahman Wahid, Mohamad Sobary, M.A.W. Brouwer, Zaim Saidi, dan
Farid Gaban. Tapi belakangan saya "tergila-gila" dengan tulisan mereka
lantaran itulah menurut saya hakikat dari sebuah tulisan esai yang
sejati.
Udo
selalu konsisten dengan gayanya yang ke-Lampung-Lampung-an. Saya kira
ini modal awal bagi seorang penulis yang bersungguh-sungguh dan percaya
diri. Dan Udo, adalah satu dari seribu orang Lampung yang mampu
menyampaikan pubalahan dan taturik yang menukik dalam bentuk tulisan pendek. Orang yang pacak menyampaikan warahan atau pubalahan serta taturik
secara lisan belum tentu tetap pacak ketika disampaikan dalam bentuk
tulisan. Dan Udo telah melakukan itu, dan hasilnya adalah ratusan kolom
yang layak untuk dijadikan bahan skripsi para calon sarjana di bidang
humaniora.
Pilihan
kata yang menerabas kaidah resmi dan dengan ringan mencomot kosakata
daerah Lampung demi sebuah kisah yang hidup, sungguh amat terpuji.
Pilihan kata ada yang begitu lucu. Ambil contoh misalnya kata
"pelitisi". Kata ini tentu pelesetan dari politisi. Selain logatnya agak
kelampungan, kata ini mengandung maksud ledekan atau sindiran. Udo
memilki semangat bertutur secara lisan yang kadang unik, tetapi
terkadang begitu polos, seperti “Gua Gegol Nanti”. Gerundel-gerundel dan
pisuh-misuh-nya amat berbahaya dan bisa menimbulkan perkara yang panjang.
Barangkali dapat dimaklumi jika anak-anak muda kurang berselera dengan gaya Mamak Kenut, apalagi anak muda yang tak mengerti bahasa Lampung. Tapi jangan coba-coba meremehkan pembaca tua, apalagi dengan santai Anda yang berusaha membacakannya kepada kakek Anda, apalagi dia orang Lampung, spontan rawut wajahnya ceria dan terkadang tertawa terbahak-bahak (mungkin) tidak karena ceritanya lucu, tetapi pilihan nama tokoh-tokohnya begitu menyentuh perasaan kelampungan.
[]
Sumber : Lampung Post
Tidak ada komentar:
Posting Komentar