9 September 2012
Hardi Hamzah
Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation
NOVEL Ana Karenina, mungkin salah satu karya Leo Tolstoy yang menjadi acuan romantisme dalam perang dan sejarah.
Tolstoy kemudian mampu merubah daratan Rusia, bahkan Eropa melihat kekejian perang sebagai suatu kesejarahan yang tidak terpisahkan dengan realitas seting sosial masyarakat. Perang memang harus dilalui, korban dan penyiksaan bagian dari kesejahteraan anak manusia yang panjang.
Tolstoy kemudian mampu merubah daratan Rusia, bahkan Eropa melihat kekejian perang sebagai suatu kesejarahan yang tidak terpisahkan dengan realitas seting sosial masyarakat. Perang memang harus dilalui, korban dan penyiksaan bagian dari kesejahteraan anak manusia yang panjang.
Demikian,
buku ikut mengukir kesejarahan "yang ganas" menjadi dramatik,
melankolik, bahkan romantik. Belum lagi bila kita berbicara tentang
Boris Pasternak dalam Dr. Zhivago-nya, semua mereka menggiring humanisme sebagai sentrifugal masalah kehidupan.
Satu per satu novel-novel di dunia mengais sense of humanity sebagai kewajiban akal manusia, katakanlah seperti yang diintrodusir Karl May dengan Winnetou-nya, semua menjalin logika yang sama dalam keterikatan satu dengan yang lain terhadap semangat kemanusiaan itu.
Menguatnya
semangat kemanusiaan yang semakin mencuat melalui novel-novel,
sesungguhnya telah berjalan sejak munculnya beberapa karya menarik di
berbagai bidang pada dekade abad ke-18, bagaimana suatu karya bisa besar
dan membesarkan manusia, karya novel terkenal Brainded yang
difilmkan dan diperankan Tza Tza Gaboor, memberikan gambaran bahwa
secara ideologis, novel membangun psikokemanusiaan seseorang yang tidak
ingin disubordinasi oleh lawan jenisnya, kesederajatan merupakan
kemutlakan, sebagaimana diceritakan dalam film yang disadur dari novel
ini.
Di
Indonesia, novel yang mengaktualisasikan semangat kemanusiaan itu,
kenyataannya digantungi oleh akar dilematis antara politik etis Belanda
pada awal abad ke-20, sampai pada reinterpretasi karya-karya Chairil
Anwar.
Tokoh
yang meninggal sangat belia ini tersentuh dengan aroma kemanusiaan,
manakala lamunannya di kamar membedah kegelisahannya tentang eksistensi
diri.
Dengan hidup "menggelandang" di Jakarta, Aku
karya Chairil adalah akumulasi dari rasa kemanusiaan sebagai nilai yang
tidak romantik, tetapi lebih pada heroik dan melankolik, tapi toh masih
bicara kemanusiaan.
Sastra kemanusian, yang terbawa politik etisnya Belanda, juga terdapat pada Max Havelar, suatu karya yang spektakuler di zamannya, membuka aib inhumanitis kehidupan bangsanya sendiri di tanah Jawa.
Multatuli
kemudian tampil dalam gugus baru sastra praksis yang tidak terlalu
romantik dan melankolik, tapi cukup mendramatisasi kondisi dan mengusik
para pemberontak kemanusiaan.
Ketika
panggung sejarah modern Indonesia, setidaknya digebyah-uyah oleh para
pemikir kaum sekolahan Indonesia, muncullah Sutan Takdir Alisjahbana
dengan masuk lewat relung renaisans melalui bungkusan budaya Indonesia.
Sedangkan
Syahrir lebih pada ideologis politis kebangsaan. Dua-duanya meskipun
mengangkat aktualitas semangat kemanusiaan, mereka berdua telah
mengaktualisasikan respons politik yang agak ambivalen.
Mengapa
agak ambivalen, karena polemik kebudayaan dalam konteks aktualisasi
menguatkan semangat kemanusiaan kurang terbantu, meskipun tentang fungsi
dari aspek politik kebangsaan cukup menggugah kita, Mungkin sekali Indonesia Menggugat
sebagai pledoi terbaik di abad ke-20 itu, tidak menutup peluang untuk
mengais nuansa kemanusiaan sehingga Bung Karno dengan pledoinya yang
spektakuler itu mampu merambah alam pergerakan Indonesia ketika itu.
Kita
sesungguhnya memang miskin sastra kemanusiaan, atau katakanlah
kesusasteraan kemanusian. Semua kesusasteraan kita berjangka linear dari
percintaan ke romantisme kesejarahan, kalaupun ada kemanusiaan,
kesemuanya berdiri atas eksistensi.
Misalnya saya berharap dari Tenggelamnya Kapal Van der Wick-nya Hamka, pun kita terpesona dengan Grotta Azzura-nya
Sutan Takdir Alisjahbana yang tebal dan melelahkan itu, kenyataannya
belum ada atmosfer yang mengarah ke visobortisasi ke arah kemanusiaan
yang umum, setidaknya ia hanya mengintip jendela kehidupan kita dan itu
hanya sedikit.
Dekat-dekat dengan itu, kita bisa melihat Ziarah-nya Iwan Simatupang, Harimau Harimau-nya
Mochtar Lubis, ia memang menyentuh nilai kemanusiaan, tapi tetap jaga
estetika jua. Kita, dan atau Barat sekali pun, bahkan bangsa-bangsa di
dunia lahir karena karya sastra dan kemanusiaan.
Tengoklah
Frankenstein yang sedikit mampu mengaktualisasi eksitensi kemanusiaan
di tengah masyarakat Amerika Selatan yang berbahasa Perancis. Kita juga
tahu Surat-surat Cinta Charkes D. Faule yang juga memainkan peran bagi kemajuan atau kepedulian elitis pada masyarakat.
Mungkin
kalau kita berbicara lebih universal lagi, titik balik abad global ini
semakin ditentukan arahnya oleh ambivalensi penulisan kesusasteraan atau
katakanlah novel, karya Varoline dengan Harry Potter-nya,
cenderung menjebak generasi yang satu dengan yang lainnya lebih banyak
berfantasi, halusinasi, dan ilusi, demikian pula novel yang
diterjemahkan melalui pemetaan terhadap semangat religius, seperti Ayat-ayat Cinta, keduanya (Harry Potter dan Ayat-ayat Cinta) telah menemukan titiknya sendiri dan terpisah dari semangat kemanusiaan itu, lalu best seller, ini yang patut kita pahami bersama, terutama bila kita punya tugas budaya.
Rangsangan
pasar yang sedemikian kuat, pada gilirannya mulai membuat kita "tidak
malu-malu" membuat karya asal jadi, apalagi itu dalam konteks karya
cetak, audio, maupun audio visual, semuanya tanpa misi peradaban.
Padahal,
misi peradaban harus dibarengi atau dimulai dengan visi kemanusiaan.
Visi kemanusian merupakan pengejawantahan memberdayakan kepedulian dan
kejujuran atas nama peradaban masa depan anak bangsa.
Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh karya Udo Z. Karzi, mungkin kita bisa saja mengangapnya sederhana. Namun, ia bukanlah suatu hal yang patut diabaikan.
Karya
dari kumpulan nuansa ini, kenyataannya memberikan nuansa dan atau
aktualisasi kemanusiaan pada masing-masing lakonnya, ia mengajari kita
tentang kesusahan, jarak, dan keseharian anak bangsa yang terkulai oleh
zaman.
Pun demikian pula Mamak Kenut, telah mengajak kita, ayo mulai dari yang sederhana, tetapi bermanfaat bagi sesama.
Haruslah
diakui Mamak Kenut bermain pada jaringan lakon kemanusiaan dengan
refleksi cinta yang minimal karena sesungguhnya kemanusiaan itu tidak
berkutat pada percintaan an sich. Bukankah kita sudah senang dan agak bosan dengan Marga T., Ashadi Siregar, Eddy D. Iskandar, dan lain-lain.
Untungnya
juga, kita masih dalam lingkup Putu Wijaya dan Sapardi Djoko Damono
meskipun mereka masih bermain dalam nilai kemanusiaan yang tidak
kontekstual.
Pada titik inilah sebagai orang Lampung kita patut berbangga, bahwa Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh,
meskipun terkoyak oleh tokoh-tokoh di tengah novel-novel dunia
sebagaimana yang penulis paparkan di atas, Mamak Kenut telah menjadi
bagian dari kebesaran novel-novel tersebut.
Semoga semangat kemanusiaan teraktualisasi dalam jaringan yang tepat dan karya sastra yang diperlukan.
[]
Sumber : Lampung Post
Tidak ada komentar:
Posting Komentar